Di pagi hari yang cerah, gadis kecil
bernama Susan tak sabar lagi untuk pergi ke hari pertama sekolah tingkat SD.
Tak lupa pula, Susan sarapan pagi yang telah disiapkan bundanya. Susan pun
pergi dengan menunggangi sepeda motor yang dibawa oleh bundanya.
Sesampai di sekolah, ia berkenalan
dengan beberapa teman, diantaranya Venny dan Sozo. Ia pun sangat bergembira
memilik banyak teman yang membuatnya tertawa riang disetiap jamnya. Susan pun
berharap mereka selalu menjadi teman akrabnya dan juga menjadi sahabatnya.
Sepulang sekolah ia pun dijemput oleh ibunya.
Sesampainya mereka dirumah, tak lupa
pula ibunya mengingatkan Susan untuk meminum vitamin sambil berkata :
“Nak, jangan lupa minum vitamin agar tubuhmu
tetap sehat dan kuat.”
“Iya
bunda, tapi vitamin ARV ini untuk apa sih?” jawab Susan.
“Kan
tadi uda bunda bilang, vitamin ini membuat tubuhmy tetap sehat dan kuat.” ujar
bunda kembali.
“Hihihi...
tapi kenapa bunda juga mengonsumsinya?” tanya Susan kebingungan.
“Karena
bunda juga mau dong punya badan sehat dan kuat!” jawab bunda.
“Oke
bunda, Susan minum vitamin dulu ya!” sahutnya riang.
“Iya sayang, jangan lupa untuk makan siang dan
belajar!”
Sembilan tahun lamanya persahabatan antara Susan,
Venny dan Sozo sangat akrab. Canda tawa bersama, mengerjakan pr, bermain,
menangis pun dilakukan mereka bersama. Kini itu semua akan lebih kuat karena
mereka telah berseragam putih abu-abu dan sekolah di SMA terfavorit di kotanya,
belum lagi mereka satu kelas di kelas unggulan.
Beberapa bulan kemudian, sekolah mereka mengadakan
tes HIV. Mereka pun mulai berbincang-bincang sambil berjalan pulang.
“Jika
salah satu dari kita terkena HIV, gue bakalan jauhi dia selamanya hahaha” kata
Sozo.
“Ih...
kamu ini gak boleh ngomong gitu dong, kita kan orang baik-baik!” sahut Susan.
“Bener!
Apalagi kita kan sahabat, emang iya kena HIV. Ada-ada aja kamu!” jawab Venny.
“Iya
deh, gue minta maaf. Semoga tes besok lancar yah!” sahut Sozo kembali.
Keesokan harinya, seluruh siswa
berbaris untuk diambil darahnya. Terik panas matahari membanjiri keringat di
tubuh siswa. Jam demi jam berlalu, tes HIV usai dan mereka pun diumumkan bahwa
tes akan dibagikan pada esok hari, ia pun menyampaikannya kepada ibunya dan
berkata :
“Bunda, tadi di sekolah ada tes HIVlah... Susan merasa sedikit sakit sih saat proses pengambilan darah.”
“Bunda, tadi di sekolah ada tes HIVlah... Susan merasa sedikit sakit sih saat proses pengambilan darah.”
“Kee..ke...napa
kamu gak bi...bi...lang sama bunda dulu?” jawab bunda terbata-bata.
“Iya
bunda, karena kemarin bunda lagi pergi membeli obat ARV. Setelah bunda pulang
Susan juga lupa bilang deh” ujar Susan.
“Seharusnya
kamu gak perlu tes gituan! Sebaiknya kamu pergi ke kamar sekarang!” jawab bunda
dengan suara tertegang dan Susan pun pergi ke kamarnya dengan wajah heran.
Pagi hari yang gelap dengan sedikit
rintik, Susan terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak enak. Ia pun pergi ke
sekolah seperti biasanya Susan diantar oleh ibunya. Sesampai dikelas,
sahabatnya menatap heran kepada Susan sambil memegang surat hasil tes HIV
miliknya dan memberikannya. Susan mengambilnya dan membacanya, beberapa detik
kemudian air matanya mulai menetes dan suasana tetap tenang tanpa sepatah kata.
Sesampai di rumah ia melihat ibunya
sedang mencuci bajunya, lalu ia mebantingkan tasnya dan berkata sambil
meneteskan rintisan tangisan :
“Kenapa
bunda?! Apa yang bunda sembunyikan dariku?!”
“Ma...maafkan
bunda nak.” Jawab bunda.
“Bunda
tau, aku itu ODHA(Orang Dengan HIV AIDS), aku HIV positif!”
“Bunda
sudah lama ingin memberitahumu , tapi kamu belum cukup dewasa untuk mengetahui
hal ini, virus ini ditularkan oleh ayahmu yang telah tiada.”
Susan sempat bingung, saat dia akan dipeluk oleh
ibunya. Ia mulai mencegahnya dan ia bergegas pergi ke kamarnya, ia menangis
karena tahu ayahnya meninggalkan hal yang sangat buruk, dan menangis mengetahui
takdirnya harus menjadi penderita HIV dan AIDS.
Keesokan harinya ia mulai beranggapan
bahwa ibunya telah tiada. Susan anak yang baik, pintar dan ramah. Akan tetapi,
setelah mengetahui hal ini ia sangat berubah drastis karena tak terima
takdirnya. Jadi ia mulai memasak sendiri, pergi sekolah sendiri dan pada saat
ibunya hendak mengejarnya untuk mengantarkannya pergi ke sekolah, ia tak
menghiraukannya, dia hanya menganggap itu hanyalah suara angin yang tidak tahu
arah jalannya.
Sesampai dia di kelas, tak biasanya ia
disambut oleh sahabatnya, ia mulai merasa dikucilkan dari pergaulan karena
mereka menatap sinis Susan. Ia menangis, ia sangat merasa sedih, ia semakin
membenci ibunya. Tiba-tiba ia dipeluk
kedua sahabatnya, mereka pun ikut menangis.
“Kalian
tidak takut padaku? Aku kena HIV positif! Dan Sozo bukannya kamu akan
menjauhiku?”
Maafkan
kami Susan, kami mengerti perasaanmu. Virus itu ditularkan bukan?” sahut Venny.
“Aku
tarik kata-kataku Susan. Kemarin ibumu sudah menjelaskan ke pihak sekolah!”
ujar Sozo.
“Suadhlah
Susan, syukuri apa yang ada, maafkan ibumu, terimalah takdirmu!” tegas Venny.
“Aku
bangga memiliki sahabat seperti kalian teman-temanku, akhirnya ada yang
mengerti perasaanku.” ujar Susan sambil berpelukan.
Ia mulai merenungkan tentang dirinya.
Selama berjam-jam ia pun mendapat jawaban dari pertikaiannya, bahwa takdir tak
akan berubah dan harus dijalankan. Takdir juga berdampak positif dan negatif
bagi orang lain. Dan ia menyadari takdirnya, ia pun mulai berpikir untuk
meminta maaf kepada ibunya.
Hari demi hari berlalu, ia baru
sesampai rumah melihat bunda sedang menyapu dan berkata :
“Maafkan
aku ya Bunda! Aku tahu ini bukan salah bunda!” kataku sambil memeluk bunda.
“Iya
nak, bunda mengerti perasaanmu!” jawab bunda sambil meneteskan serpihan air
mata.
“Ini
ada kue bolu untuk bunda, ya walaupun harganya tak seberapa sih untuk memulai
hubungan kita dan mempererat hubungan kita yang baru bunda!” ujarku tersenyum.
“Terimakasih
nak! Kamu semakin dewasa, bunda bangga punya anak seperti kamu.”
Mereka
bertekad untuk tetap sehat dengan mengonsumsi obat ARV walaupun penyakit AIDS
tersebut tidak dapat hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar